Pulau Samosir: One of True Paradise
| Sepasang Es Krim, Durian yang manis dan Anggur yang segar |
Puas berkeliling dan berbelanja ulos di Tomok, saya pun kembali memacu kereta. Tujuan selanjutnya adalah Pantai Pasir Putih Parbaba. Jarak Tomok-Parbaba yang sejauh 30km, menjadi perjalanan yang mengasyikan bagi saya. Jalan yang berlika-liku, bukit nan hijau, sawah yang mulai menguning, dan danau yang teduh menemani perjalanan keliling Pulau Samosir ini. Sesekali saya melihat anak-anak sepulang sekolah yang berlari-lari riang, juga sang Ibu perkasa yang berjalan memanggul cangkul. Tidak banyak pemukiman di sini. Tidak ada pula yang namanya macet di pulau ini. Semua terlihat utopis.
Hingga saya melihat plang yang bertuliskan 'Museum of Batak People' atau Museum Batak. Museum Batak terletak di Simanindo, tepat di tepi Jalan Raya Samosir. Saya tertarik mau melihat-lihat. Namun ketika saya datang, tak ada penjaga museum atau guide yang berjaga di sini. Jadilah kami berkeliling museum secara mandiri. Kami hanya melihat benda benda pusaka Batak tanpa tahu tentang cerita di balik pusaka-pusaka tersebut. Akhirnya, kami hanya berfoto narsis di sini.
Perjalanan dilanjutkan, kereta ku pacu dengan cukup cepat. Terbuai jalan halus tanpa macet. Tapi tampaknya kami harus lebih berhati-hati, karena di tengah jalan yang halus dan sepi ini, ada polisi tidur atau jalan rusak di tempat yang tidak terduga.
| Mereka terparkir di Parbaba |
Kalau kami, hal pertama yang kami lakukan adalah makan. Berhubung siang sudah terik, kami memutuskan untuk makan di salah satu warung makan di pinggir pantai. Satu porsi mie rebus khas Samosir seharga Rp10.000 dan air mineral botol. Mie rebus khas Samosir, demikian kami menyebutnya karena mie ini memang berbeda dengan mie rebus di Jakarta. Walau bahan dasarnya sama, Mie Rasa Kari Ayam, tetapi tambahan bumbu rempah yang membuat rasanya menjadi khas mirip Mie Aceh.
Puas duduk, kenyang makan, aku lanjutkan pelesiranku ke Ibu Kota Samosir, Panguruuan. Hanya sekedar ingin tahu bagaimana situasi di pusat Pulau Samosir ini. Selain itu aku juga ingin melihat jembatan yang menghubungkan Pulau Samosir dan Pulau Sumatra. Jarak antara Parbaba ke Panguruan adalah 10 km. Benar saja, tercium bau keramaian khas kota ketika kami menuju ke Panguruan. Mulai banyak truk-truk besar dan bus lalu-lalang, Betor yang berlomba mengangkut penumpang, dan pertokoan yang berhias menjajakan dagangannya. Sampai di sana, kami sedikit berkeliling. Ya, kami menemukan penunjuk arah ke Berastagi, Air Terjun Efrata, menara pandang Tele. Kami masuk ke arah sana dan rupanya benar, Danau Toba sudah hilang, digantikan dengan sungai. Rupanya Sungai ini adalah terusan dari Danau Toba bagian utara dan selatan; juga dari jembatan di atas sungai inilah Pulau Samosir dapat terhubung dengan kota-kota lain di Sumatra Utara dengan mudah. "Rupanya dari sini truk dan bus itu masuk", pikirku.
Ya sudah. Hari sudah sore. Waktunya mengembalikan motor sewaanku. Hampir sampai di Ambarita, kami tertarik dengan sebuah rumah yang dinamai 'Sumatera Borobudur'. Rumah ini ternyata adalah rumah makan yang menyediakan makanan organik dan vegetarian. Tidak ada daging di sini. Kami masuk dan kami di antar ke sisi belakang rumah yang mengahadap ke Danau Toba. Hanya ada lima meja di sini. Sungguh eksklusif. Pelayan pun datang. Ramah dan lemah lembut. Ya, kupikir ini adalah salah satu tempat paling tenang di Pulau Samosir ini. Hampir hanya ada suara angin dan hempasan ombak danau. Di sekeliling, banyak stupa, gambar-gambar dewa, dan bahkan ornamen batu yang mirip seperti candi Borobudur di Jawa Tengah. Sejuk dan terasa berbeda. Es Krim yang kami pesan pun cepat tersaji. Rasanya? Ini rasa asli buah! Cobalah.
Tak lengkap rasanya pelesir tanpa merasakan lidah penduduk asli. Ya ini waktunya kuliner! Sebelum malam menjelang dan sebelum kami sampai di hotel, kami menyempatkan untuk berkunjung ke Restoran Sekapur Sirih untuk memesan satu ekor Na Niura. Sekapur Sirih memang restoran yang terkenal menghidangkan makanan khas Batak non Babi. Letaknya di Desa Tuk Tuk, dekat Roy's Pub. Makanan yang kami pesan adalah Na Niura. Na Niura adalah Ikan Gurame yang dihidangkan mentah, maksudnya tanpa dimasak menggunakan api. Untuk menikmati Na Niura, kami harus memesannya terlebih dahulu. Selain karena ketersediaan terbatas, Na Niura butuh minimal 2 jam untuk dihidangkan. Begitu juga dengan menu-menu khas lainnya. Hal ini dikarenakan proses memasaknya adalah dengan merendam ikan segar ke dalam bumbu rempah. Bumbu rempah inilah yang membuat ikan menjadi 'matang' dan betekstur unik. Jadi kalau Anda berencana makan malam dengan Na Niura, ada baiknya Anda memesannya dari sore hari. Satu porsi Na Niura berkisar 75.000 hingga 200.000, bergantung pada besarnya ikan yang dipilih. Na Niura dihidangkan bersama daun singkong (masyarakat setempat meyebutnya dengan daun ubi) tumbuk kuah santan dan sambal andaliman.
................................................................................................................................................................
Tak ada yang menarik diceritakan dari mimpiku semalam. Pagi ini, aku keluar dari kamarku, turun ke pantai, menikmati suasana pagi terakhirku di Samosir, tepi Danau Toba. Walau langit tak cukup bagus untuk menanti sang surya terbit, namun angin, air, dan pegunungan nan hijau sudah cukup untuk menanam rinduku di sini. Pengunjung hotel lain juga mulai turun, ada yang berenang, berfoto, atau bermain pasir. Para pencari rezeki pun tidak mau kalah dengan matahari. Para penjaja jetsky mulai merapat ke dermaga depan hotel. Mereka mulai menjajakan jasa sewa jetsky dan banana boat kepada setiap pengunjung. Aku ingin mencoba jetsky. Aku belum pernah mencobanya dan ketika ada kesempatan, aku akan mencobanya. Ya ini dia olahraga pagi ku di Danau Toba. Huft, rasanya menegangkan. Turun dari jetsky, tubuh ini rasanya melayang dan kepala pusing. Tapi Seruuu!!
Setelah berolahraga pagi, kami bersiap-siap hendak pulang ke Jakarta. Kami menumpang kapal pukul 10.00 (kapal merapat tiap jam di dermaga hotel). Di pelabuhan kami sempatkan makan Mi Gomak, mi khas Batak. Mie ini bertekstur mirip spageti namun dengan bumbu rempah. Biasa disajikan sarapan pagi, layaknya nasi uduk di Jakarta.
Setelah menunngu 1 jam lebih, Nice Trans kami akhirnya penuh. Kami berangkat pukul 12.00. Niatnya, kami mau mampir ke kota Medan terlebih dahulu, tetapi karena takut dengan kemacetan dan resiko tertinggal pesawat, maka kami batalkan niat itu. Kami langsung ke Kuala Namu.
Tiga jam perjalanan dengan kecepatan tinggi, kami sampai di Bandara Kuala Namu. Pesawat kami take off pukul 20.15. Agak terlalu awal memang, tapi tak apalah. Toh Bandara Kuala Namu sudah seperti mall. Kami bisa berkeliling dulu di sini. Beli oleh-oleh di bandara memang jauh lebih mahal, contohnya ketika saya membeli Meranti. Harga resmi meranti sekitar Rp55.000, namun di Bandara menjadi Rp75.000. Ya jauh lebih mahal namun praktis. Ya, suatu ketika aku ingin mencicipi Jalan Meranti, Kota Medan, dan terus ke barat hingga 0 km Indonesia.
................................................................................................................................................................
![]() |
| Jetsky Danau Toba |
Setelah berolahraga pagi, kami bersiap-siap hendak pulang ke Jakarta. Kami menumpang kapal pukul 10.00 (kapal merapat tiap jam di dermaga hotel). Di pelabuhan kami sempatkan makan Mi Gomak, mi khas Batak. Mie ini bertekstur mirip spageti namun dengan bumbu rempah. Biasa disajikan sarapan pagi, layaknya nasi uduk di Jakarta.
Setelah menunngu 1 jam lebih, Nice Trans kami akhirnya penuh. Kami berangkat pukul 12.00. Niatnya, kami mau mampir ke kota Medan terlebih dahulu, tetapi karena takut dengan kemacetan dan resiko tertinggal pesawat, maka kami batalkan niat itu. Kami langsung ke Kuala Namu.
Tiga jam perjalanan dengan kecepatan tinggi, kami sampai di Bandara Kuala Namu. Pesawat kami take off pukul 20.15. Agak terlalu awal memang, tapi tak apalah. Toh Bandara Kuala Namu sudah seperti mall. Kami bisa berkeliling dulu di sini. Beli oleh-oleh di bandara memang jauh lebih mahal, contohnya ketika saya membeli Meranti. Harga resmi meranti sekitar Rp55.000, namun di Bandara menjadi Rp75.000. Ya jauh lebih mahal namun praktis. Ya, suatu ketika aku ingin mencicipi Jalan Meranti, Kota Medan, dan terus ke barat hingga 0 km Indonesia.
Sambil menikmati keanggunan serta serba-kemodernan Kuala Namu, lamunanku membayang ke saat aku sampai ke Toba. Ini pertama kali ku ke sana, ke Toba, tempat nenek moyang Ayahku. Memang ini bukan pulau 'paradise' seperti Bali. Tak ada pesta meriah di sini, tak ada lembayung nan-indah, tak ada pusat perbelanjaan dan galeru, tak ada kemewahan. Tak seperti Sabang yang terus berdandan. Tak ada setting wisata khusus di sini. Namun itulah, tak ada yang dibuat-buat. Semua masih asli di sini. Kesempatan untuk mendekatkan diri ke kehidupan lokal pun masih terbuka lebar. Hijaunya perbukitan yang mengelilingi Danau Toba, bak tembok yang melindungi keasriannya. Jernih bersih Danau Toba bisa jadi adalah kerja keras para warga sekitar. Ya kampanye yang berbunyi, "Danau Toba adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu kita harus menjaganya", ampuh membuat danau toba layak di jadikan kolam renang raksasa. Berbagai vegetasi dan kehidupan di dalamnya adalah anugerah yang tidak ternilai. Membawa warga lokal dapat bertahan hingga saat ini dan memanjakan mata dengan indahnya warna hijau toska permukaan Danau Toba. Jika aku punya flying camera atau apapun itu namanya, aku ingin memotret keindahan itu dari atas, agar ku dapat menyebarkan keindahan dan keasriannya.
.....
Pesawat yang ku pilih ternyata anti-delay. Berangkat tepat waktu, mendarat lebih cepat dari jadwal. Menjejaklah kaki ku kini di tanah Jakarta. Pelesir ke Samosir dan Danau Toba adalah satu pelajaran tersendiri untukku. Mungkin aku ingin lebih lagi, ingin terbang ke ujung barat hingga ujung timur untuk dapat melihat, mendengar, dan merasakan.
Sekian.
Terima kasih.
Yeremia Tera
yeremiaterra@gmail.com



Comments
Post a Comment