Bali: What a Romantic Island 3
| Pemandian Penyucian Diri Tirta Empul (Photo By Dio Dananjaya) |
Yak. Sekarang waktunya pemenuhan janji gue buat nge-share sisa pengalaman waktu mengunjungi Bali berikut kesan serta pesannya.
Nah ini dia!
Hari ketiga gue di Bali, gue sempatkan untuk mengunjungi wisata non-pantai di Bali. Jadi gue pergi ke daerah Bali Tengah agak ke utara, tepatnya di daerah Tampak Siring dan Kintamani.
Tampak Siring
| Pura Tirta Empul (Photo By Dio Dananjaya) |
kita akan melalui beberapa obyek wisata lain, seperti Pasar Sukawati, Goa Gajah, dan persimpangan menuju daerah Ubud.
Memasuki wilayah Tampak Siring, saya mulai merasakan "Bali". Ya, Bali dengan berbagai ketradisionalannya. Jalan yang relatif sepi, Pura-Pura yang banyak ditemui di tepi Jalan, dan tentu masyarakat setempat yang memakai baju khas Bali, Kebaya untuk perempuan; Baju Koko, Kain, dan Udeng untuk laki-laki. Sayup-sayup juga terdengar suara musik gamelan Bali dimainkan. Suasana yang tenang, mewarnai perjalanan saya kali ini.
Menuju Pura Tirta Empul sebenarnya susah-susah gampang. Susah karena kita malu bertanya, dan gampang ketika kita jeli melihat marka jalan. Di Tampak Siring sendiri sebenarnya memiliki 3 obyek wisata utama, yaitu Museum Soekarno, Istana Tampak Siring, dan Pura Tirta Empul. Oh ya, jangan sampai salah, Museum Soekarno berbeda tempat dengan Istana Tampak Siring yang menurut info yang saya dapat merupakan bangunan milik Pak Sukarno.
Untuk menuju Tirta Empul, setelah masuk Jalan Tampak Siring, Anda akan melewati Museum Soekarno, lalu 2 km setelahnya Anda akan menemukan pertigaan, lurus ke arah Istana Tampak Siring, dan ke kanan menuju Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul ada di sebelah Kiri Jalan setelah sekitar 500 meter menyusuri jalan. :)
Pura Tirta Empul sendiri merupakan tempat ibadah masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari khusuknya para pengunjung yang berdoa sambil menyucikan diri, juga dari banyaknya sajen yang diletakan di sekitar tempat pancuran air.
Harga tiket masuk Tirta Empul adalah Rp15.000. Harga belum termaksud peminjaman kain. Di Tirta Empul, kita masuk harus pakai kain, karena memang merupakan tempat ibadah yang suci. Tempat dua tempat penyewaan kain di Tirta Empul, di pintu Masuk dan di dekat tempat Mandi. Di pintu masuk, kita akan diberikan kain dengan tarif seikhlasnya. Namun, kain yang dipinjam di depan (pintu masuk) tidak boleh di pakai masuk ke dalam kolam. Maka dari itu, waktu itu gue nyewa kain lagi dengan tarif Rp5000 per kain, juga peminjaman loker Rp5000 per loker.
| Tirta Empul (Photo By Dio Dananjaya) |
Masuk ke area pemandian, kita langsung di sambut oleh dinginnya air. Wajar saja, sebab airnya langsung dari mata air. Di bawah pancuran air kita bisa membersihkan diri dengan mencuci kepala dan sebelumnya diawali dengan doa. Dimana kita berpijak di situ bumi dijunjung. Jadi walaupun gue bukan berasal dari ranah kepercayaan Hindu, gue tetap berdoa di sana dengan cara gue sendiri. Toh yang gue lakuan adalah dengan maksud baik, yaitu menyucikan diri. :)
Terlihat di sana beberapa warga negara asing juga ikut menikmati ritual mandi menyucikan diri di Pura Tirta Empul, Tampak Siring. Setelah puas menikmati waktu di Pura Tampak Siring yang indah, gue dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan menuju Trunyan, Kintamani.Danau Batur dan Desa Trunyan
| Danau Batur (Photo By Dio Dananjaya) |
Menuju Kintamani, kita cukup kembali menyusuri jalan yang telah kita lalui tadi. Oh ya, bagi penggemar kopi, sepanjang perjalanan dari Tampak Siring menuju Kintamani, banyak terdapat kafe-kafe yang menyediakan Kopi Bali. Gue sarankan untuk mampir sekedar mencoba kekhasan kopi asli pulau Bali ini. Karena ketika sudah masuk kota, menu kopi Bali akan sangat sulit untuk Anda temui. Hahaha
Sekitar 26 km dari Pura Tirta Empul, Tampak Siring, atau sekitar 71 km dari Kota Denpasar, kita akan menemui pemandangan yang sangat wow indahnya. Pemandangan berupa Kaldera bekas letusan Gunung Batur yang sekarang menjadi Danau Batur menyajikan pemandangan yang sama sekali tidak terbayangkan akan ditemukan di Pulau Bali yang terkenal akan pantai dan ombaknya. Pemandangannya itu kayak lukisan versi nyata. Haha :D
| Danau Batur (Photo By Dio Danajaya) |
Oh ya, untuk masuk ke daerah Batur, pengendara mobil akan dikenakan retribusi, sedangkan hal serupa tidak berlaku bagi pengendara sepeda motor. Dan karena hawa di sini yang dingin, maka jangan lupa untuk membawa jaket atau switer.
Setelah selesai menyantap bakso, perjalanan kami lanjutkan ke Desa Trunyan yang masih berjarak sekitar 10 km dari lake-view Batur.
Perjalanan menuju Desa Trunyan tergolong berat, karena Anda akan melewati jalan yang sangat curam dan berlika-liku. Pastikan kondisi kendaraan Anda baik dan bensin yang cukup. Sebenarnya ada dua jalan menuju Desa Trunyan, yang pertama adalah melalui darat, dan yang kedua melalui penyebrangan danau. Kalau lewat darat ya resikonya adalah seperti yang tadi gue bilang, Anda akan melalui jalan yang curam dan sempit. Terkadang terbesit keinginan untuk memutar dan kembali ke Lake-view Batur. Tapi rasanya tanggung dan lagi tidak enak kepada warga setempat yang telah membantu menemukan jalan menuju Desa Trunyan.
Sesampainya di Desa Trunyan dan setelah melaui jalan dengan medan yang berat, rasa lelah menjalar di tubuh kami. Belum lagi karena hujan yang terus turun. Desa Trunyan terletak tepat di pinggir Danau Batur, dan di tepi tebing Kintamani yang agak curam. Intensitas hujan yang cukup sering di daerah Trunyan, tampaknya membuat volume air Danau Batur jadi naik, dan membuat Desa Trunyan seperti berada di bawah permukaan air. Hal ini terlihat dari permukaan jalan yang tertutup air, dan ada rumah yang sudah setengah terendam air. Suasana desa yang demikian, ditambah suasana yang sepi, juga hujan, udara yang dingin, dan sedikit berkabut, membuat kesan yang menakutkan. Terlebih tujuan kami ke sana adalah ingin mengunjungi makam tradisional yang sangat terkenal, karena di sana mayat orang meninggal tidak dibakar atau dikubur, tetapi diletakan begitu saja di bawah pohon Terumenyan. Bangkai mayat sama sekali tidak berbau, karena menurut info yang gue dapat, baunya terhisap oleh pohon Terumenyan tersebut. Namun, karena harga wisata yang cukup mahal bagi kami para low-cost Traveller, kami harus membatalkan niat kami untuk menyebrang dan melihat makam unik tersebut. Huft banget memang. Tetapi sudah sangat cukup bagi kami merasakan hawa menakutkan di Desa Trunyan, dan tidak terbayang bagaimana jika kami benar-benar menyebrang ke pemakaman tersebut. Mungkinkah kami masih bisa tidur? Hahaha maklum, kami memang sedikit penakut. Hehe
Menurut info yang gue dapat dari masyarakat Trunyan yang berbaik hati mengantar kami, Desa Trunyan adalah desa wisata tertua di Pulau Bali. Di daerah Trunyan pula, dikatakan tempat pertama kali tumbuhnya tradisi Hindu di Bali. Warga tersebut mengklaim bahwa tradisi Hindu di Trunyan adalah tradisi Hindu Bali yang asli.
Wah, jadi muncul niat gue buat meneliti lebih lanjut ke Trunyan. Yah, mungkin someday tommorow, I will be back to Trunyan. :D
Yaaa, itulah akhir pengalaman gue berlibur di Bali selama 4 hari 4 malam, atau total dengan perjalanannya jadi seminggu. Seminggu gue mengasingkan diri dari Jakarta-Solo-Bali-Banyuwangi-Malang-Jakarta. Tidak menghabiskan uang banyak, cukup Rp1.030.000 Anda sudah dapat merasakan petualangan yang nantinya bisa jadi salah satu cerita kehidupan Anda. Gue juga, gue bukan orang yang bisa diem. Gue akan terus berjalan dan mencari. Gue akan kembali berpetualang kemana pun semesta membawa gue.
Kemarin gue udah belajar, sekarang gue jalani dan nikmati, esok adalah misteri yang tidak gue ketahui.
my life not about money, it just a journey.
Selamat menikmati Hidup, kawan :D
Regards
Yeremia Tera
@terragila


MANTAPPPPPP!!!!!!!!!!!!!
ReplyDeletebagus dan bermanfaat share nya,,jd pengen ikutan nyoba.. :)
ReplyDeleteCobalah gan. :)
DeleteMas, blh mnt no hpnya dong, mggu dpn sy rncna mo ke bali. Jd mhn bantuannya. Trima ksh.
ReplyDeletehubungi via email aja. yeremiaterra@gmail.com
Delete